Skip to main content

Laku Spiritualitas, Salah Satu Cara Tanggulangi Kerapuhan Jiwa

Catatan Seminar Kerapuhan dan Kesehatan Jiwa, UKDW, Yogyakarta, 23 April 2019

Bukan pertama kali penulis buku Amara di Tengah Jiwa Terbelah dan buku Misteri Jiwa dan Perilaku berbagi ilmu dan pengamalan dalam forum-forum diskusi formal dan informal. Jauh sebelum kedua buku ini terbit, kedua sosok unik ini sudah lebih dahulu melayani banyak orang.

Sesil Yuri atau yang lebih dikenal dengan nama aslinya Ria Sutiyoso  secara sukarela membaktikan dirinya untuk membantu orang-orang dengan gangguan jiwa berat. Kerelaanya menyediakan diri untuk melakukan tugas yang tidak mudah bahkan mungkin banyak dihindari orang ini tak lain adalah bentuk rasa syukurnya. Tumbuh dengan dalam keluarga dengan pola asuh tidak ideal yang pada akhirnya memporak-porandakan jiwa empat dari saudara kandungnya justru membuat Ria jadi pribadi yang kuat. Pergolakan hidup yang luar biasa tak mematahkan semangatnya justru membawanya jadi penolong untuk orang lain.

Maka tak heran jika Selasa, 23 April 2019 lalu di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta di depan peserta seminar “Kerapuhan dan Kesehatan Jiwa” yang sebagian besar adalah mahasiswa teologi, Ria Sutiyoso menekankan bahwa doa tidak bisa dilepaskan dari proses pendampingan orang dengan gangguan jiwa. Ria Sutiyoso yang tak memiliki latar belakang pendidikan berhubungan dengan kesehatan jiwa dipaksa oleh keadaan untuk paham. Ria belajar memahami pola asuh orang tuanya, melepaskan diri dari belenggu depresi yang menghantuinya bertahun-tahun, bahkan ia juga harus belajar  memahami bagaimana gejala-gejala kekambuhan saudara-saudara kandungnya dan bagaimana cara menghadapinya. Bukan proses yang mudah. Bukan pula proses yang singkat. Tapi Ria berhasil melaluinya.  

Bertolak dari pengalamannya, Ria menemukan formula tersendiri untuk merawat orang-orang dengan gangguan jiwa berat, yaitu Doa, Obat, Kerja (DOK). Diungkapkan Ria, prinsip ini telah diterapkannya sendiri saat merawat kedua adiknya yang menderita skizofrenia. Jadwal yang rutin dengan kombinasi kegiatan doa dan kerja yang teratur serta obat yang tak pernah terlambat sangat membantu pemulihan kedua adiknya menuju keadaan yang lebih stabil. Tak hanya itu, Ria juga mengajak adik-adiknya untuk mendaraskan ayat-ayat kitab suci. Diyakini oleh Ria bahwa ayat-ayat dalam kitab suci sendiri jika didaraskan terus menerus akan memiliki daya sembuh.

Menutup sesinya Ria mengutip salah satu ayat dari Alkitab Ria, “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” Ria sangat percaya bahwa tak ada hal buruk dalam rencana Tuhan.

Berbeda dengan Ria Sutiyoso, Inu Wicaksana memang mempelajari seluk beluk kesehatan jiwa. Inu Wicaksana, seorang psikiater senior yang baru saja purna tugas setelah sekian lama bekerja di Rumah Sakit Jiwa Magelang, tak pernah berpikir untuk berhenti berbagi tentang macam-macam fenomena kondisi jiwa manusia. Inu dengan lugas menjelaskan berbagai macam fenomena itu secara ilmiah. Namun demikian Inu seperti halnya Ria meyakini bahwa laku spiritualitas itu sangat penting untuk membantu penderita gangguan jiwa. Mari kita ikuti penjelasannya.


Pertama-tama Inu Wicaksana menjelaskan tiga hal penting yang menjadi indikator seseorang dikatakan sehat jiwanya. Pertama, orang tersebut bisa menjalankan fungsi perannya. Misalnya ia adalah mahasiswa, maka ia bisa mengikuti perkuliahan dengan baik dan benar, atau jika ia adalah seorang ibu, ia bisa mengasuh anaknya dengan bertanggung jawab. Kedua, orang tersebut bisa menjalankan fungsi sosialnya dengan baik. Jika ia mahasiswa, ia bisa berinteraksi baik dengan dosen maupun teman-temannya, sebagai warga kampung ia bisa bertegur sapa dan menjaga kehidupan bertetangga yang sehat. Ketiga, dapat mengembangkan diri secarap optimal. Sambil mendengarkan penjelasan, biasanya orang kemudian suka memberi penilaian terhadap dirinya sendiri. Sehatkah aku?

Inu melanjutkan dengan memberi seloroh tentang judul acara, “Wah, kerapuhan jiwa, Tema yang berat ini.” Yang disusul dengan gumam geli sebagian peserta. Demi mengakomodasi judul acara yang sudah diambil, Inu kemudian menjelaskan tentang tiga lingkaran yang mempengaruhi risiko seseorang mengidap gangguan jiwa berat.

Lingkaran pertama adalah kondisi kimia di otak. Secara sederhana Inu menerangkan, di otak itu ada neuron-neuron, yang kemudian membentuk jaring-jaring dengan neuron-neuron lain yang disebut sinanpss. Dengan bahasa awam dan diselingi gojekan Inu mengatakan bahwa gampangane di dalam otak di antara sinapsis dan neuron tersubut ada zat-zat kimia yang membuat otak bisa bekerja normal. Nah, pada penderita gangguan jiwa berat terjadi ketidakseimbangan zat kimia tersebut sehingga kerja otak jadi terganggu, menyebabkan seseorang mungkin bisa mengalamai halusinasi, atau kondisi emosional yang tak terkendali.

Lingkaran kedua adalah pola asuh keluarga. Jika lingkaran pertama tadi adalah faktor yang tak dapat kita  hindarkan, lain halnya dengan faktor pola asuh. Pola asuh adalah hal yang dapat dikelola dalam keluarga. Inu Wicaksana membuat metafora yang indah. Orang tua adalah miniatur dunia. Anak mendapat persepsi tentang dunia dari orang tuanya. Maka bagaimana orang tua membawa dunia itu ke tengah keluarga menjadi sangat penting bagi anak kelak jika ia sudah tumbuh dewasa. Bayi yang disusui ibunya sampai dua tahun dikatakan memiliki kematangan emosional yang lebih baik daripada bayi yang tidak. Bukan sekedar air susunya, tapi rengkuhan, belaian, dan kasih sayang yang diberikan ibu kepada sang bayilah yang membuatnya jadi kuat.
Orang tua yang mampu menjadi tegas dan konsisten juga punya peran besar untuk kesehatan jiwa anak di masa dewasa mereka kelak. Orang tua yang cenderung menuruti keinginan anak di waktu kecil tak mengajari anak memiliki sikap menerima, pun orang tua tak mengajari anak mengatasi kekecewaan. Faktor-faktor yang seakan sepele tersebut sesungguhnya adalah kontributor besar untuk kesehatan jiwa seseorang seperti dibahas pada lingkaran ketiga berikut ini.

Lingkaran ketiga adalah stressor atau tekanan hidup. Tekanan hidup adalah lingkaran terluar dari ketiga lingkaran yang berkontribusi terhadap kesehatan jiwa seseorang. Umpamanya, seorang anak SMA yang tak dituruti orang tuanya untuk membeli sepeda motor. Kegagalan memiliki sepeda motor adalah stressor yang dihadapi individual. Kedua lingkaran sebelumnya berpengaruh tentang bagaimana individu ini menghadapi tekanan. Jika kedua lingkaran lain dalam keadaan baik dan sehat, biasanya individu akan mampu menghadapi tekanan bahkan jadi pribadi yang lebih kuat. Tapi jika tidak, maka jiwa dapat menjadi rapuh kemudian mengalami gangguan jiwa. Demikian pula ditemui pada seseorang yang mengalami badai hidup perceraian. Perceraian itu sendiri bukanlah satu-satunya faktor pemicu gangguan jiwa, tapi ketiga lingkaran bahu membahu menjadi penentu apakah jiwa seseorang akan menjadi rapuh atau tidak. Ada seseorang yang bercerai menghabiskan sisa hidupnya di bilik perawatan ada pula yang justru bisa menjadi kuat dan tetap menjadi pribadi yang sehat.

Inu Wicaksana yang juga mengasuh rubrik konsultasi kesehatan jiwa di harian Kedaulatan Rakyat Jogja juga menambahkan anak perlu dibekali dengan kesadaran transedental. Kesadaran bahwa maanusia itu tak bisa dilepaskan dari Sang Khalik. Kesadaran dan pemahaman ini melampaui sekedar agama. Sejak kecil, seharusnya anak didampingi dan diajari untuk menghayati ajaran agama, bukan sekedar hafalan atau teori. Dengan demikian diharapkan kelak jika anak telah dewasa dan harus menghadapi tekanan hidup ia bisa menjadi ikhlas. Pribadi yang ikhlas niscaya akan jauh dari ancaman gangguan jiwa.

Inu Wicaksana memang pandai mencari kata yang tepat. Untuk pasien-pasien nasraninya, ia suka mengatakan, “Jangan jadilah kehendakku, tapi jadilah kehendak-Mu, ya to.” Sedangkan untuk pasien-pasiennya yang berkeyakinan Muslim seperti dirinya, biasanya ia akan berkata, “Yang tabah dan tawakal.” Jangan lupa bersyukur dan berserah kepada Tuhan adalah pesan yang kerap juga Inu sampaikan dalam tulisan-tulisanya.

Bicara tentang kerapuhan dan kesehatan jiwa tak ada habisnya. Masih banyak cerita ingin disampaikan oleh Inu Wicaksana dan Ria Sutiyoso. Suatu saat semoga bisa jumpa dengan kedua pribadi unik ini. Tapi sebelumnya, pemikiran dan pengalaman keduanya dapat dibaca dalam buku Amara di Tengah Jiwa  Terbelah serta Misteri Jiwa dan Perilaku terbitan Penerbit Lingkarantarnusa.

Sampai jumpa! (Llf)


Amara di Tengah JiwaTerbelah
Sesil Yuri
Ukuran 13 x 19
Tebal 166 hal
ISBN 978-602-6688-59-0
Harga 55.000
Pesan via WA: 087739057244 (Pipit)





Misteri Jiwa dan Perilaku
Refleksi Kasus-Kasus Psikiatri dan Problema Kesehatan Jiwa di Indonesia
Inu Wicaksana
Ukuran 13 x 19
Tebal 446 hal
ISBN 978-602-6688-63-7
Harga 88.000.
Pesan via WA: 087739057244 (Pipit)





Comments

Popular posts from this blog

Cerita Seorang Psikiater

Semua orang bisa menulis. Pun, semua   orang berhak dan bisa menerbitkan tulisannya. Demikian ungkapan yang cukup terkenal dalam dunia kepenulisan. Agaknya ungkapan itu menjadi makin nyata jika melihat dan membaca buku berjudul Misteri Jiwa dan Perilaku yang diterbitkan oleh penerbit Lingkarnantarnusa. Buku setebal 446 halaman ini tidak ditulis oleh seorang novelis ataupun penulis cerpen. Misteri Jiwa dan Perilaku ditulis oleh dr. Inu Wicaksana, Sp.(KJ)k, MMR yang merupakan seorang dokter bidang psikiatri. Psikiater, demikian masyarakat umum menyebutnya. Beberapa orang mungkin akan teringat dengan Marga T., seorang dokter yang melahirkan novel Badai Pasti Berlalu . Bedanya, Misteri Jiwa dan Perilaku bukanlah novel. Misteri Jiwa dan Perilaku dibagi menjadi 3 bagian. Berturut-turut adalah #sketsamentalhealth , #sudutpandang , dan # adiksinapza . Bagian pertama berisi kumpulan tulisan, atau lebih tepatnya catatan, Inu tentang fenomena penyandang gangguan jiwa berat. Ini adala...

Pendek Belum Tentu Jelek

Apa yang kita bayangkan tentang tulisan yang hanya berisi 1000 kata? Pasti sebagian dari kita akan bingung; cerita seperti apa yang bisa dihadirkan tulisan sependek itu? Adalah flash fiction , sebuah genre fiksi pendek yang bahkan jauh lebih pendek dari sebuah cerita pendek pada umumnya. Kali ini, penerbit Lingkarantarnusa kembali menghadirkan buku baru dengan genre flash fiction. Ini adalah buku hasil kontes menulis fiksi dengan tema #fiksimini, yang merupakan hasil kerjasama dengan komunitas #katabercerita. Ya, buku ini berisi 27 tulisan dengan panjang maksimal hanya 700 kata. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi si penulis karena ia harus bisa mengeksplorasi cerita dengan padat, ringkas, namun tetap nyaman untuk dibaca. Hal menarik lainnya, buku ini mempunyai lingkup usia penulis yang amat luas. Mulai dari pelajar sekolah menengah, guru, dan juga masyarakat umum turut memberikan sumbangsih untuk buku ini.   Perbedaan generasi dan latar belakang para penulisnya membua...